Apa itu SAANANE?
SAANANE adalah bahasa Jawa untuk "seadanya". Ini adalah nama komunitas kreatif di kota kecil saya, Wlingi (satu jam ke timur dari Blitar Kota). Namanya begitu karena kami memang seadanya. Apa yang ada kita manfaatkan berkreasi. Kegiatan kami adalah antara lain bikin film (dengan mikro bahkan zero budget), bikin kerajinan ukir-ukiran, workshop untuk pemuda kampung, latihan kanuragan rutin dll. Ini komunitas multi talent.
|
Logo Sanggar SAANANE (mirip lambang partai...heh heh) |
|
Para pasukan siap bikin film di WOLFINDEN 2011 |
Kalau anda main ke tempat kami, anda akan mendapati sebuah gerbang. Di dalam lalu terlihat ada sedikit halaman lapang dan sebuah gazebo. Di sinilah kami berbasis. Beruntung kami dipersilakan menempati tempat yang aslinya milik keluarga Pak Margan Mudjito ini. Kok kami bisa dapat lokasi semudah ini? Tentu saja karena salah satu pendiri komunitas adalah putra almarhum Pak Margan. Dia Johan Argono, sahabat saya.
Di Sanggar SAANANE, setiap rabu sore dan minggu, biasanya anda akan mendapati remaja-remaja berjumpalitan, salto, ber-Capoeira, Silat, Parkour, Wushu dll. Atau kadang ada yang sibuk dengan mesin ukir, membuat motif-motif di tempurung buah maja. Pada waktu-waktu tertentu kita nongkrong, entah karena rapat produksi atau cuma nongkrong saja di gazebo. Yang paling ramai mungkin sekitar bulan Februari hingga Mei. Pada empat bulan itu, tiap tahun kami mengadakan acara yang disebut WOLFINDEN (Workshop Film Independen) yaitu program bikin film bareng. Tak hanya anggota Sanggar SAANANE atau anggota teater SMA (Teater BARA) tempat saya melatih, kami juga menggandeng orang-orang luar, masyarakat, kadang pejabat. Kita bikin film bareng yang kemudian ditonton bareng-bareng. Soal biaya? Ya bisa dari mana saja. Biasanya malah nyaris nol. Kamera kami pinjam, lighting dan alat-alat lain kami bikin atau modifikasi sendiri.
Poster kegiatan WOLFINDEN yang pertama
Intinya, kalau mau kreatif yang diperlukan cuma perlu kemauan. Tak usah mikir fasilitas atau dana duluan. Komunitas kami sejak 2009 sampai sekarang berkarya benar-benar dengan alat seadanya. Kalau pun pernah pakai alat bagus, itu juga pinjam. Awal membangun komunitas ini, kami hanya tahu kegiatan semacam ini lazimnya ada di kota besar. Komunitas film? Hanya ada di kota besar. Komunitas urban sport? Tak banyak. Sanggar SAANANE kami bangun dengan semangat berbagi kegilaan kreativitas agar kota kecil kami jadi hidup.
Saya pribadi miris lihat banyak generasi muda mengisi waktu dengan merusak diri. Tawuran, balapan liar, alkohol, drug, seks bebas (hmmm...saya suka juga sih lihat rekamannya...yang 3gp itu...tapi hati tetap aja miris he he he mereka terlalu muda untuk rusak). Saya jadi tidak tenang melihat itu ada di sekitar saya. Sementara saya sendiri juga nggak suka berkotbah atau ceramah. Karena alasan inilah saya ingin melakukan sesuatu yang efektif.
Dari mana awalnya semua bermula?
Kira-kira 5 tahunan silam, sahabat saya Johan Argono (yang saya sebut di atas) berdiskusi dengan saya tentang sebuah ide. Seingat saya, kami membahasnya sambil nongkrong di pinggir jalan dekat rumah. Kebetulan itu masa-masa paska lebaran, jadi ada cukup waktu buat ngobrol bagi kami yang sama-sama punya kegiatan di beda kota. Ya, saat itu saya masih bolak-balik Jogja-Wlingi sedangkan Johan memutuskan menetap di Wlingi. Saat itu saya sudah rampung kuliah (yang 9an tahun) sedang Johan belum diangkat jadi PNS.
Johan Argono dan saya di screening WOLFINDEN 2010
Ide Johan adalah bagaimana membuat sebuah komunitas yang bisa mewadahi pemuda untuk jadi kreatif. Johan yang saya kenal sejak SMP memang suka sekali berkomunitas. Dia aktif di ekskul dan kepengurusan OSIS. Waktu itu saya menawarkan ide semacam komunitas dengan kegiatan budaya, musik atau apalah yang bisa mempelopori aktivitas kreatif di kota kami. Kami berdua sangat terkenang dengan Wlingi di masa 80an. Masa itu, bayangkan, kota kecil (yang cenderung disebut desa) punya 3 gedung bioskop, ada pertunjukan seni rutin, ada ketoprak (waktu itu masa kejayaan Siswo Budoyo), ada sanggar tari dll. Sementara pada saat kami ngobrol itu, Wlingi vakum dari kegiatan budaya yang rutin. Sayang visi kami saat itu terjeda karena saya balik ke Jogja dan Johan sibuk mengajar.
"Tugu Garuda", salah satu landmark Wlingi. Sebenarnya sih tugu kelompencapir...
Teater BARA SMANTA, komunitas yang berperan penting dalam terbentuknya Sanggar SAANANE
Tahun 2009, saya terpaksa pulang ke Wlingi dan tak punya dana untuk melanjutkan cita-cita di Jogja (gamblangnya, saya gagal atau menggagalkan diri...ada ceritanya tersendiri). Saya menganggur di rumah. Paling kerjaan ya mengajar di bimbel dengan upah 9000 rupiah per jam. Johan mengajak saya untuk mengajari murid-murid teaternya di SMA untuk bikin film. Saya tanya, kameranya macam apa? Dia hanya menunjukkan kamera saku. Mirip punya saya tapi lebih canggih. Ya, nggak masalah. Itu masih bisa dipakai.
"Tanggal Merah", film pertama di WOLFINDEN (2009)
Maka lahirlah film pendek berdurasi sekitar 25 menit karya anak-anak SMA berjudul "Tanggal Merah". Ini film pertama yang kami buat di kota ini. Selanjutnya saya menggantikan mengajar teater (dan juga film) di sekolah itu, karena Johan pindah mengajar ke Blitar. Kegiatan ini kemudian menjadi pemantik lahirnya komunitas yang Johan utarakan dulu, waktu nongkrong di pinggir jalan. Kami namai komunitas ini Sanggar Kreatif SAANANE yang kemudian cukup Sanggar SAANANE saja. Sampai tahun 2012 kurang lebih ada 12 film kami bikin. Nggak ada yang meliput. Belum ada wartawan tertarik meliput.
PETSU Gelombang 1
PETSU Gelombang 2
PETSU Gelombang 3 & The Monkey Blitz Parkour
PETSU Gelombang 4
Latihan rutin PETSU di Sanggar SAANANE
Latihan PETSU
Sejak kelahiran film "Tanggal Merah", kreativitas kami makin menggila. Lebih gila lagi karena kami menggagas kegiatan rutin latihan kanuragan yang bernama Pecicilan-Jutsu Club yang kemudian menjadi PETSU (Paduan Energi Semangat Teknik & Usaha). Peserta PETSU inilah yang tiap rabu dan minggu berjumpalitan di Sanggar. Bersama anak-anak pecicilan itu kami bikin film indie panjang pertama kami (mungkin pertama di kota kami) berjudul "APYUN". Lalu anak-anak Sanggar juga punya ide bikin kegiatan latihan Parkour pertama di Blitar. Lahirlah The Monkey Blitz. Pada masa berikutnya ada lebih banyak kegiatan diadakan komunitas kami, misalnya pelatihan bisnis online, belajar notasi musik bersama, pelatihan ukir, bincang-bincang soal film independent, peringatan hari film nasional, jualan ukiran buah maja dll.
Rolling and...action! (Nyuting bidadari mandi)
Syuting film action pertama
Workshop ukir di Gazebo Sanggar
Mengukir buah maja
Ukiran buah maja siap dijual
Sampai saat ini kami terus saja melakukan kegilaan-kegilaan kreatif di kota ini. Berharap ini menjadi semacam investasi budaya. Ke depan kami berharap kegilaan ini menular ke seluruh kota sehingga bangsa ini punya masa depan dengan generasi mudanya.
Memulai perubahan itu sederhana, mulai saja dari apa yang kita suka.
-----------
Repost oleh Gugun, lulusan SAANANE dan Wong Wlingiwood
Apa itu SAANANE?
SAANANE adalah bahasa Jawa untuk "seadanya". Ini adalah nama komunitas kreatif di kota kecil saya, Wlingi (satu jam ke timur dari Blitar Kota). Namanya begitu karena kami memang seadanya. Apa yang ada kita manfaatkan berkreasi. Kegiatan kami adalah antara lain bikin film (dengan mikro bahkan zero budget), bikin kerajinan ukir-ukiran, workshop untuk pemuda kampung, latihan kanuragan rutin dll. Ini komunitas multi talent.
|
Logo Sanggar SAANANE (mirip lambang partai...heh heh) |
|
Para pasukan siap bikin film di WOLFINDEN 2011 |
Kalau anda main ke tempat kami, anda akan mendapati sebuah gerbang. Di dalam lalu terlihat ada sedikit halaman lapang dan sebuah gazebo. Di sinilah kami berbasis. Beruntung kami dipersilakan menempati tempat yang aslinya milik keluarga Pak Margan Mudjito ini. Kok kami bisa dapat lokasi semudah ini? Tentu saja karena salah satu pendiri komunitas adalah putra almarhum Pak Margan. Dia Johan Argono, sahabat saya.
Di Sanggar SAANANE, setiap rabu sore dan minggu, biasanya anda akan mendapati remaja-remaja berjumpalitan, salto, ber-Capoeira, Silat, Parkour, Wushu dll. Atau kadang ada yang sibuk dengan mesin ukir, membuat motif-motif di tempurung buah maja. Pada waktu-waktu tertentu kita nongkrong, entah karena rapat produksi atau cuma nongkrong saja di gazebo. Yang paling ramai mungkin sekitar bulan Februari hingga Mei. Pada empat bulan itu, tiap tahun kami mengadakan acara yang disebut WOLFINDEN (Workshop Film Independen) yaitu program bikin film bareng. Tak hanya anggota Sanggar SAANANE atau anggota teater SMA (Teater BARA) tempat saya melatih, kami juga menggandeng orang-orang luar, masyarakat, kadang pejabat. Kita bikin film bareng yang kemudian ditonton bareng-bareng. Soal biaya? Ya bisa dari mana saja. Biasanya malah nyaris nol. Kamera kami pinjam, lighting dan alat-alat lain kami bikin atau modifikasi sendiri.
Poster kegiatan WOLFINDEN yang pertama
Intinya, kalau mau kreatif yang diperlukan cuma perlu kemauan. Tak usah mikir fasilitas atau dana duluan. Komunitas kami sejak 2009 sampai sekarang berkarya benar-benar dengan alat seadanya. Kalau pun pernah pakai alat bagus, itu juga pinjam. Awal membangun komunitas ini, kami hanya tahu kegiatan semacam ini lazimnya ada di kota besar. Komunitas film? Hanya ada di kota besar. Komunitas urban sport? Tak banyak. Sanggar SAANANE kami bangun dengan semangat berbagi kegilaan kreativitas agar kota kecil kami jadi hidup.
Saya pribadi miris lihat banyak generasi muda mengisi waktu dengan merusak diri. Tawuran, balapan liar, alkohol, drug, seks bebas (hmmm...saya suka juga sih lihat rekamannya...yang 3gp itu...tapi hati tetap aja miris he he he mereka terlalu muda untuk rusak). Saya jadi tidak tenang melihat itu ada di sekitar saya. Sementara saya sendiri juga nggak suka berkotbah atau ceramah. Karena alasan inilah saya ingin melakukan sesuatu yang efektif.
Dari mana awalnya semua bermula?
Kira-kira 5 tahunan silam, sahabat saya Johan Argono (yang saya sebut di atas) berdiskusi dengan saya tentang sebuah ide. Seingat saya, kami membahasnya sambil nongkrong di pinggir jalan dekat rumah. Kebetulan itu masa-masa paska lebaran, jadi ada cukup waktu buat ngobrol bagi kami yang sama-sama punya kegiatan di beda kota. Ya, saat itu saya masih bolak-balik Jogja-Wlingi sedangkan Johan memutuskan menetap di Wlingi. Saat itu saya sudah rampung kuliah (yang 9an tahun) sedang Johan belum diangkat jadi PNS.
Johan Argono dan saya di screening WOLFINDEN 2010
Ide Johan adalah bagaimana membuat sebuah komunitas yang bisa mewadahi pemuda untuk jadi kreatif. Johan yang saya kenal sejak SMP memang suka sekali berkomunitas. Dia aktif di ekskul dan kepengurusan OSIS. Waktu itu saya menawarkan ide semacam komunitas dengan kegiatan budaya, musik atau apalah yang bisa mempelopori aktivitas kreatif di kota kami. Kami berdua sangat terkenang dengan Wlingi di masa 80an. Masa itu, bayangkan, kota kecil (yang cenderung disebut desa) punya 3 gedung bioskop, ada pertunjukan seni rutin, ada ketoprak (waktu itu masa kejayaan Siswo Budoyo), ada sanggar tari dll. Sementara pada saat kami ngobrol itu, Wlingi vakum dari kegiatan budaya yang rutin. Sayang visi kami saat itu terjeda karena saya balik ke Jogja dan Johan sibuk mengajar.
"Tugu Garuda", salah satu landmark Wlingi. Sebenarnya sih tugu kelompencapir...
Teater BARA SMANTA, komunitas yang berperan penting dalam terbentuknya Sanggar SAANANE
Tahun 2009, saya terpaksa pulang ke Wlingi dan tak punya dana untuk melanjutkan cita-cita di Jogja (gamblangnya, saya gagal atau menggagalkan diri...ada ceritanya tersendiri). Saya menganggur di rumah. Paling kerjaan ya mengajar di bimbel dengan upah 9000 rupiah per jam. Johan mengajak saya untuk mengajari murid-murid teaternya di SMA untuk bikin film. Saya tanya, kameranya macam apa? Dia hanya menunjukkan kamera saku. Mirip punya saya tapi lebih canggih. Ya, nggak masalah. Itu masih bisa dipakai.
"Tanggal Merah", film pertama di WOLFINDEN (2009)
Maka lahirlah film pendek berdurasi sekitar 25 menit karya anak-anak SMA berjudul "Tanggal Merah". Ini film pertama yang kami buat di kota ini. Selanjutnya saya menggantikan mengajar teater (dan juga film) di sekolah itu, karena Johan pindah mengajar ke Blitar. Kegiatan ini kemudian menjadi pemantik lahirnya komunitas yang Johan utarakan dulu, waktu nongkrong di pinggir jalan. Kami namai komunitas ini Sanggar Kreatif SAANANE yang kemudian cukup Sanggar SAANANE saja. Sampai tahun 2012 kurang lebih ada 12 film kami bikin. Nggak ada yang meliput. Belum ada wartawan tertarik meliput.
PETSU Gelombang 1
PETSU Gelombang 2
PETSU Gelombang 3 & The Monkey Blitz Parkour
PETSU Gelombang 4
Latihan rutin PETSU di Sanggar SAANANE
Latihan PETSU
Sejak kelahiran film "Tanggal Merah", kreativitas kami makin menggila. Lebih gila lagi karena kami menggagas kegiatan rutin latihan kanuragan yang bernama Pecicilan-Jutsu Club yang kemudian menjadi PETSU (Paduan Energi Semangat Teknik & Usaha). Peserta PETSU inilah yang tiap rabu dan minggu berjumpalitan di Sanggar. Bersama anak-anak pecicilan itu kami bikin film indie panjang pertama kami (mungkin pertama di kota kami) berjudul "APYUN". Lalu anak-anak Sanggar juga punya ide bikin kegiatan latihan Parkour pertama di Blitar. Lahirlah The Monkey Blitz. Pada masa berikutnya ada lebih banyak kegiatan diadakan komunitas kami, misalnya pelatihan bisnis online, belajar notasi musik bersama, pelatihan ukir, bincang-bincang soal film independent, peringatan hari film nasional, jualan ukiran buah maja dll.
Rolling and...action! (Nyuting bidadari mandi)
Syuting film action pertama
Workshop ukir di Gazebo Sanggar
Mengukir buah maja
Ukiran buah maja siap dijual
Sampai saat ini kami terus saja melakukan kegilaan-kegilaan kreatif di kota ini. Berharap ini menjadi semacam investasi budaya. Ke depan kami berharap kegilaan ini menular ke seluruh kota sehingga bangsa ini punya masa depan dengan generasi mudanya.
Memulai perubahan itu sederhana, mulai saja dari apa yang kita suka.
-----------
Repost oleh Gugun, lulusan SAANANE dan Wong Wlingiwood